Senin, 19 Maret 2012

PERNIKAHAN SUNYI

ini nih cerpen pertama aye di annida online yang dimuat tanggal 30 September 2011, terinspirasi dari kisah nyata di salah satu dusun di Lombok, cekidot!! happy reading reader :D 


Aku memandangmu lekat. Yang memakai celana putih, koko putih dan peci putih itu, namanya Hari. Kau terlihat gugup sekali. Butiran keringat sebesar biji kedelai berlomba keluar dari pori-pori tubuhmu. Aku pun bisa merasakan kegugupan yang sama. Bagaimana tidak, ini adalah hari pernikahanmu. Ijab kabul pasti akan terasa sangat berat. Terlebih lagi ini adalah pernikahan pertamamu.
Sepi. Sunyi. Tak lazim untuk sebuah pernikahan yang normal. Tak ada janur kuning yang melengkung meriah. Yang ada hanyalah bendera kuning. Tak ada jamu-jamuan bak pesta penuh suka cita. Di ruang ini, hanya ada air mata yang meluap tumpah. 
Pandang terus kuedarkan. Tak ramai. Hanya ada beberapa orang berpakaian hitam yang sibuk membaca yaasiin. Kau membetulkan letak pecimu yang agak miring. Sedikit lebih tenang.
Ah iya. Aku belum becerita tentang mempelai wanitanya. Dia ada. Dekat. Mungkin tak tepat jika kureka itu adalah 3 meter dari mempelai pria. Tapi kurang lebih, seperti itulah jaraknya.
Dia kakakku. Hani. Nama mempelai wanita yang kini terbujur kaku itu. Ya, dia sudah meninggal beberapa jam yang lalu. 
Dan jelas ini bukan pernikahan biasa. Karena kau akan menikahi jasad tanpa nyawa.
Seseorang merangsek maju, membisikkan sesuatu di telingamu. Kau mengangguk-angguk. Entah apa yang orang itu bicarakan padamu. Terlihat kau menarik nafas panjang sebelum membuangnya keras.
Setelah orang itu berlalu, sejurus kemudian seseorang yang dipanggil penghulu, datang. Dan mengambil posisi berhadapan denganmu. Kau memejamkan mata sesaat untuk bersiap.
“Di mana walinya?” seorang perempuan berseru parau. Suasana sedikit riuh.
Tak lama kemudian, seorang bapak muncul dari dalam kamar. Wajahnya sendu. Gelayut duka itu masih bersisa rupanya.
“Ayo kita mulai!” serunya setelah tepat duduk di samping penghulu. Kau menjabat tangan tua itu, tangan Amaq [1] ku. Prosesi ijab kabul dimulai.
* * *
Satu jam yang lalu sebelum akad nikah…
“Tolong segera!” seru seseorang panik.
“Siapa yang mau jadi sukarelawan?” timpal seseorang.
Hiruk pikuk masih membahana di rumah duka. Beberapa laki-laki muda memilih mundur. Tak ada yang mau.
“Ayo, kita harus cepat menikahkan Almarhumah Hani sebelum dikubur!”
“Apa almarhumah punya kekasih?”
“Sepertinya tidak!”
Dan riuh itu berlanjut. Keluarga besar sibuk mencari suami untuk alamarhumah Hani. Tapi, siapa yang sudi? Siapa yang mau menikahi mayat?
Beberapa laki-laki muda ditawarkan, tapi tak ada yang mau. Gelengan-gelengan itu jelas menandakan mereka tak mau menjadi duda karbitan.
Ah…. Hani. Kakak sulungku, hanya satu dari perempuan bernasib malang di muka bumi. Perempuan yang baru saja menginjak usia 22 tahun itu harus mati muda secara tragis dalam sebuah kecelakaan maut.
Kak Hani meregang nyawa di saat sedang mencari nafkah. Angkutan desa yang ia tumpangi terguling masuk jurang. Tiga orang tewas, Supir, kenek, termasuk Kak Hani. 
Aku rasa tak cukup airmata untuk mengiringi kepergian Kak Hani. Ia terlalu baik. Kakak yang sangat bertanggung jawab bahkan pada yang bukan kewajibannya. Aku sangat kehilangan kak Hani. Sampai aku lelah menangis.
Aku memandang foto Kak Hani di ruang tamu. Gadis manis yang baik hati, saudara yang sangat pengertian, gumamku. Namun, sekaligus gadis yang malang. Sebelum meninggal, hidupnya penuh perjuangan. Banting tulang membiayai sekolahku dan adik-adiknya yang lain. Bahkan saat sudah meninggalpun, ia dihadapkan pada masalah yang rumit ini, menikah.
Tak ada dalam islam menikahi mayat. Dan aku tahu persis, pasti Kak Hani akan menentang ini semua jikalau ia masih hidup. Tapi apa mau dikata. Dusun ini patuh pada sunnah yang kebablasan.
“Bukan ummatnya Nabi Muhammad SAW yang tidak menikah!” Mereka bersikeras berdalih.
Dan aku, sampai ngotot jungkir balik berargumen, tetap tak mau mereka bergeming.
“Tapi tak ada gunanya! Yang menikah sudah meninggal. Semua amalannya terputus kecuali 3 hal, ilmu yang bermanfaat, anak yang sholeh yang selalu mendoakan, dan amal jariyah,” Aku masih mencoba berargumen, “Ini pernikahan yang sia-sia!” lanjutku.
“Alaaah… tau apa kamu soal agama! Anak kecil kok berani-beraninya lawan orang tua., sela mereka balik padaku.
Aku bungkam. Hal yang sia-sia berdebat dengan orang-orang keras kepala seperti mereka. Sama seperti sia-sianya pernikahan ini. Lagipula aku cukup tahu diri. Aku hanyalah anak kecil, masih SMA. Pengetahuan agamaku tak cukup dalam untuk meladeni mereka. Setidaknya aku telah mencoba. Yang aku syukuri, aku  masih bisa membedakan yang mana yang benar dan yang mana yang salah.
Sampai akhirnya pernikahan Kak Hani digelar setelah keluarga harap-harap cemas tak ada satupun yang sudi menikahi Hani.
“Saya bersedia menikahi almarhumah Hani!” kata seorang pemuda dari dusun sebelah yang disambut dengan lantunan hamdalah dari keluargaku. Bak pahlawan,  kau muncul di saat yang tepat.
Ya. Lelaki itu adalah kau, Hari. Seorang pemuda berwajah teduh dan sederhana dalam penampilan. Seorang fresh graduate dengan IPK cum laude.
Bagaimana bisa? Tanyaku dalam hati. Seorang berpendidikan sepertimu mengiyakan pernikahan aneh ini?
Aku masih tak percaya, sampai pada akhirnya kau didandani bak pengantin dalam pernikahan sungguhan yang normal. Entah meminjam dari salon mana semua pernak-pernik pernikahan ini.
Aku hanya bisa menyesali keputusanmu yang kuanggap sangat ekstrim itu. Keputusan yang sangat nyeleneh untuk orang berpendidikan sepertimu. Namun, ah… sudahlah. Pasti kau punya pertimbangan sebelum memutuskan untuk menjadi duda instan.

Namun, aku masih tetap penasaran. Aku menyikutmu, “Kenapa mau, Kak? Ini pernikahan yang sia-sia. Kakak tak takut dosa?” pelan dan dengan volume kecil setengah berbisik, aku bertanya padamu saat kau telah selesai berdandan.
Mata elang milikmu menatapku. Tak bisa kudeskripsikan makna tatapan itu. Ada luka, ada takut, ada cemas, ada gugup, ada…. ah, tak bisa terdeskripsikan lebih nyata lagi. Campur aduk semuanya.
Kau tersenyum, “Tak apa-apa!” Jawabanmu sangat kontras dengan mimik wajahmu yang tegang dan cemas.
“Ini bukan masalah apa atau tak apa-apa, Kak. Ini tentang dosa. Tentang pertanggungjawaban di akhirat kelak. Kasihan Kak Hani,” suaraku agak menegang. Namun, aku tetap berusaha mengontrol suaraku agar tak memicu pandang yang lain.
Kau tersenyum lagi. Aku kehabisan kata-kata.
“Ayo, Nak! Pernikahannya sudah mau dimulai,” Bibi datang dan menghentikan percakapanku denganmu. Kau segera berlalu mengikuti langkah bibi. Aku sempat melihat tanganmu menggigil sebelum berlalu.
* * *
“Saya terima nikahnya Haniati binti Mansur dengan mas kawin sebuah kitab suci Al Quran dibayar tunai!” 
Dan akhirnya ijab kabulpun tunai di samping jenazah Kak Hani yang terbujur kaku. Statusmu pun resmi berubah menjadi duda.
Aku menyeka air mata yang mulai tumpah lagi. Kak Hani, aku membayangkan ia menikah dalam keadaan hidup. Betapa bahagianya wajah kak Hani dalam imajinasiku.
“Kakak akan menikah suatu hari nanti, terus punya anak yang lucu-lucu!” Masih kuingat jelas perbincangan kami tepat di hari ulang tahun Kak Hani yang ke-22, satu minggu yang lalu.
“Aamiin! Segera, Kak!”
“Secepatnya!” Kak Hani tersenyum.
Dan kini, Kak Hani telah menikah. Sesuai keinginan yang ia lontarkan padaku waktu itu. Meskipun akhirnya, Kak Hani menikah tanpa nyawa.
* * *
Pekuburan ini telah lengang. Jasad Kak Hani telah dikembalikan ke bumi. Pelayat-pelayat satu persatu meninggalkan tanah pekuburan ini. Sampai akhirnya keluagaku, inaq [2], amaq, dan saudara-saudaraku yang lain berlalu.
Aku mencium nisan kak Hani sebelum berlalu. Namun, aku urung pergi saat melihat kau masih berjongkok di sisi kubur kak Hani. Aku tak percaya, kau menangis.
“Maaf, Hani,” Kau terisak sambil memegang nisan, “Aku tak berniat membuatmu seperti ini.”
Aku memegang bahumu, “Ayo, kak Hari! Kita pulang!”
Kau menggeleng, “Aku telah berdosa! Hani meninggal gara-gara aku.”
“Maksud Kak Hari?” aku tak mengerti sampai akhirnya panjang lebar kau menjelaskan.
“Aku yang menyebabkan angkutan yang ditumpangi Hani masuk jurang. Angkutan itu  mencoba menghindariku yang menyalip truk dari arah berlawanan. Supir banting setir ke kiri kemudian tak mampu mengendalikan laju mobil sehingga lolos masuk jurang.”
Pengakuan itu begitu menyakitkan. Aku seperti tak menapak bumi. Rahasia yang sungguh menyakitkan bagiku dan bagi keluargaku jikalau mereka tahu.
“Kenapa?” aku menangis, “Kenapa baru katakan sekarang?”
“Maafkan kakak,” Kau menangis dalam tunduk, “Kakak tak sengaja!”
Aku menatapmu dengan kecewa yang membuncah. Kau pahlawan yang tak lebih dari seorang pembunuh di mataku kini. Aku berlari membawa airmata, pulang.
Aku menengok ke belakang sesaat, melihatmu memeluk nisan Kak Hani dalam tangis yang semakin menjadi. Tapi aku tak peduli. Luka ini lebih perih lagi.

Epilog
Untuk menebus rasa bersalahmu, kau menyerahkan diri pada polisi. Saat aku menjengukmu di bui, kau menyambutku dengan senyum. Dan aku tak punya alasan untuk tidak membalas senyummu. Karena aku yakin, kak Hani juga telah memaafkanmu.
***

Keterangan:
[1] Amaq: Bapak dalam bahasa Lombok
[2] Inaq: Ibu dalam bahasa Lombok

**Terinspirasi dari sebuah kebiasaan masyarakat di sebuah dusun di Lombok yang menikahkan gadis-gadis yang meninggal dalam usia muda.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar