Selasa, 03 Januari 2012

Menggadai Matahari



Ditengah kegelapan, aku berusaha mencari satu berkas itu. A Glow in the dark. Begitu aku menyebutnya. Sebuah cahaya dalam gelap. Namun, semua jalan serasa buntu. Dan jalan satu-satunya adalah ... Menggadai Matahari!
* * * * *
Aku punya seorang adik yang sangat tergila-gila pada Upin dan Ipin. Semua gaya 2 bocah Malaysia itu diikutinya. Dari gaya bicara sampai hobi mereka. Aku juga heran pada adikku yang sudah 1 bulan ini divonis oleh pak mantri busung lapar. Darimana ia tahu tentang Upin dan Ipin padahal kami tidak punya televisi. Oho dan suatu hari aku tahu. Itu saat aku memergokinya sedang asyik nonton kaset Upin dan Ipin di salah satu penjual kaset bajakan di pasar. Ia begitu terpesona pada sosok Upin dan Ipin yang dapat berpuasa sehari penuh. Bahkan ikut salat tarawih bersama opa dan kakaknya yang galak. Begitu salah satu adegan dalam serial Upin dan Ipin yang sempat ku tonton. Tak kupungkiri, cerita Upin dan Ipin sangat menarik. Pantas saja, adikku begitu tergila-gila padan mereka.
“Pokoknya Kak, Sabdi akan puasa penuh di tahun ini!” ucapnya suatu hari padaku dengan berapi-api. Aku tentu saja bahagia mendengarnya. Namun, seketika aku menjadi lunglai saat ia menginginkan suatu hal yang tidak mungkin ku penuhi.
“Tapi buka puasanya pake ayam goreng ya seperti Upin dan Ipin.” pintanya manja, “Kakak mau belikan kan?”  aku tersedak.
“Ehm... ehm iya, yang penting Sabdi puasanya pol.” Entah sadar atau tidak, kata-kata itu muncrat dari kerongkonganku. Sabdi terlihat riang sekali. Banyak bintang tiba-tiba hadir dimatanya.
“Horreee...!!” Sabdi jejeritan sambil loncat-loncat. Aku nyengir melihat tingkahnya. Dan cengiranku hilang seketika saat aku ingat ucapanku tadi. Ayam? Dapet darimana???
Sabdi masih jejeritan saat lututku tiba-tiba terserang chikungunya. Lemas seperti jelly.
  * * * * *
Aku, usiaku baru 15 tahun, saat aku menemukan Sabdi di bawah langit biru abu-abu. Degradasi warna asli langit yang diciptakan Allah dengan warna asap-asap yang mengudara. 
Akhirnya aku harus menceritakan bahwa Sabdi memang bukan adik kandungku. Tapi nasib mengkandungkan kami. Aku merawatnya sejak masih orok. Dibawah tumpukan sampah-sampah anorganik yang baunya sengit, aku menemukannya tanpa tangis sama sekali. Ya, tempat pembuangan sampah. Dibalik balutan kain batik coklat, Sabdi bayi terlihat biru. Biru seperti langit.
Kugendong bayi itu dengan hati-hati. Aku sempat ragu padanya waktu itu. Aku pikir dia sudah mati. Namun, jantung itu aku rasakan tanda kehidupannya. Aku membawa bayi yang kuberi nama Sabdi itu segera ke istana kardusku. Aku tak mau menghubungi polisi. Malas berhubungan dengan mereka. Lagipula, disini adalah istana Sabdi. Istana bagi orang-orang terbuang.
Kehadiran Sabdi segera disambut hangat oleh keluarga besar pemulung di TPS. Semua menyayanginya. Dan sejak saat itu, Sabdi resmi jadi adikku. Tanpa akte ini dan itu. Hanya pengakuan dari keluarga besar pemulung, itu sudah cukup aku rasa. 
Kini Ramadhan tinggal 2 hari lagi. Sabdi membuat kepalaku akhir-akhir ini cukup puyeng. Harga sembako semakin meningkat. Ia pengen makan ayam goreng. Dan itu, ayam goreng itu akan menajdi lauknya berbuka setiap hari sepanjang Ramadhan. Dapat darimana ayam goreng itu??? Dari langit kah??? Ahh... andai aku se-sholehah ibunda Maryam, mungkin ayam goreng itu akan turun sendiri dari langit.
“Kamu kenapa, Rie? Kok mukanya dilipet begitu?” Ibu Asih tba-tiba sudah duduk disampingku. Aku nyengir. Bingung harus berekspresi bagaimana lagi.
“Kok nyengir? Ada apa, Nak?” Ibu Asih membelai kepalaku lembut.  Aku menggeleng. Mengekspresikan bahwa aku baik-baik saja.
“Sabdi nakal lagi?” Aku menggeleng lagi-lagi.
“Jujurlah sama Ibu. Masalah Sabdi lagi kan?” Ia seperti peramal, tahu semua apa yang aku rasakan. Apa mungkin semua orang tua akan selalu begitu.
Kini tak ada lagi gunanya aku berbohong. Aku melengos, “Iya, Bu!”
“Masalahnya apa?”
“Sabdi maunya buka puasa pake ayam goreng. Sedangkan Ibu tahu sendiri, pemerintah sulit menekan harga sembako. Untuk orang papa seperti kita, harga ayam sangatlah mahal tentunya.” curhatku mengalir lancar, sampe acara bawa-bawa pemerintah segala.
“Kalo masalah uang, itu gampang Rie. Ibu sudah pernah nawarin kan waktu itu.” Aku tercenung. Oh ya??
“Kan kamu bisa pinjam uang di Bu Ais.” Sarannya enteng.
Minjem uang di rentenir plus tekong* itu! Aku menggeleng cepat.
“Tidak Bu!”
“Lho, kenapa? Itu solusi satu-satunya, Nak!”
“Rie pikir-pikir dulu Bu!” kataku akhirnya pasrah.
Ibu Asih memegang pundakku. Senyumnya terkembang. “Pikirkan masak-masak, Nak! Buat adikmu. Buat Sabdi!”
* * * * *
Sabdi koar-koar terus sepanjang hari ini. Ia berceloteh panjang lebar, ngalor-ngidul pada semua temannya. Sabdi bercerita pengalamannya (padahal belum pernah) makan ayam goreng. Uhhh... aku jadi semakin keriting saja dibuatnya. Semalam saat aku membuka celengan ayam jago, dengan ditemani temaram lampu 5 watt yang samar, tak ada satupun uang kertas kutemukan lebih besar dari 5000 rupiah. Bahkan uang 5000 rupiah itu hanya selembar. Tak cukup untuk beli ayam sepanjang ramadhan.
 Memang akhir-akhir ini, aku banyak menginvestasikan pendapatanku untuk perut. Terutama untuk Sabdi, yang teramat sangat sering belanja. Aku mengambil napas panjang kemudian melenguh. Berharap masalah ini akan ikut menguap bersama karbondioksida hasil lenguhanku.
Dan saat aku benar-benar merasa jatuh itulah, tawaran bu Asih berdendang lagi. Sepertinya aku harus segera memutuskan langkah selanjutnya. Akhirnya setelah shalat istikharah berkali-kali, keputusan itu akhirya sudah final.
“Berapa?” dari sudut matanya aku lihat garis ekuator keangkuhan itu bertahta. Bu Ais melirik sekilas. Ia membuka dompet tebalnya seolah-olah menuntut aku untuk menjawab cepat.
“Dua ratus ribu!” aku pasrah menyebut nominal uang itu dihadapan wanita yang seolah-olah menjadi malaikat penolong bagiku ini. Yaaahhh... aku ternyata mengambil tawaran dari bu Asih untuk meminjam uang padanya. Pada wanita paruh baya yang asyik mengokang kaki di depanku ini.
  Bu Ais mengangsurkan 2 lembar 100 ribuan ke tanganku, “Ini ambil! Kau sudah tahu perjanjiannya bukan?” tanyanya selidik sebelum uang itu sampai ke tanganku.
Aku anggukkan kepala tanda mengerti.
“Bagus! Kita berangkat habis puasa! Nasibmu akan lebih baik jika kau disana!” Bu Ais berkata seolah-olah ia mampu membaca takdirku. “Uang yang dua ratus itu biar aku potong dari gajimu nanti,”
Aku mengangguk lagi. Kali ini benar-benar berat. Kepalaku mendadak pening. Saat aku bangun dari dudukku, aku melihat tangan bu Ais mengibas-ngibas padaku. Tanda alam bagi ku untuk segera berlalu dari hadapannya.
* * * * *

Sabdi terlonjak-lonjak bahagia. Saat membongkar belanjaanku dari pasar. Seekor ayam potong teronggok lesu di dalam plastik biru yang transparan.
“Holeee.... ayam goleng!” Sabdi berteriak cadel. Aku mengangguk mengiyakan. Tak lupa pake senyum.
Ini hari pertama puasa. Sesuai perjanjian aku dan Sabdi: Sabdi akan berpuasa pol tahun ini, jika lauk berbuka adalah ayam goreng. Deal.
Dan Sabdi tidak ingkar akan janjinya. Ia puasa penuh. Tak ada setengah-setengah seperti puasa kebanyakan anak yang lain. Dan itu sudah berjalan selama 28 hari. Dan selama itu pula, asap ayam goreng selalu mengepul dari dapurku.
Tak terasa lusa adalah akhir Ramadhan. Dan aksi Sabdi tak berhenti sampai di ayam goreng saja. Kini Ia meminta baju lebaran. Uang yang kupinjam tempo hari di Bu Ais tinggal 10000 rupiah saja. Haruskah aku meminjam lagi???
Aku coba mengakumulasikan jumlah tabunganku dengan sisa uang pinjaman dari Bu Ais. Hasilnya adalah 30.500 rupiah. Aku tersenyum getir. Harus ada jalan lain selain meminjam. Harus!
* * * * *
Setelah melakukan survey di pasar, akhirnya aku memutuskan untuk membeli baju di loakan saja. Karena isi dompetku di bawah rata-rata. Toh, kualitas di loakan tidak kalah dengan yang baru. Murah lagi. setelah hampir satu jam aku mengobrak-abrik gunungan baju second itu, akhirnya sebuah baju setelan gambar Upin dan Ipin berdasar merah itu kubayar tunai. 20.000 rupiah saja.
Sabdi menyambut dengan tangan terbuka baju “baru”nya. Kini Sabdi tak melonjak-lonjak lagi.
“Kan lagi puasa, hemat tenaga Kak!” jawabnya saat kutanya mengapa ia tak melonjak-lonjak seperti biasa. Aku mengelus-elus kepala Sabdi lembut. Ahh...siapa orangtuamu? Tega sekali mereka membuangmu? mereka akan sangat rugi membuangmu, Sabdi. Monolog hatiku terus berkecamuk sampai Sabdi tertidur pulas di pangkuanku.
Beberapa jam dari sekarang, aku akan meninggalkan Sabdi. Sesuai kesepakatanku dengan Bu Ais sebulan lalu. Tanpa kusadari, intan bening meluncur dari mataku. Aku menangis dalam dekapan malam.

* * * * *
Mobil itu telah parkir sedari tadi. Namun, sungguh aku sangat tak ingin masuk kedalamnya. Tangis Sabdi masih menganak sungai. Ia meraung-raung. Pelukannya makin erat. Seperti ia tak ingin melepas kepergianku.
“Sabdi harus tenang Sayang!” Bu Asih berusaha melepas pelukan Sabdi dariku. Tangis Sabdi semakin kencang. Tangisku sudah dari tadi mengalir jatuh. Sungguh, perpisahan selalu menyakitkan bagiku!
Aku menghapus air mata Sabdi. “Sabdi, kakak akan pulang tiap lebaran tiba. Bawain Sabdi baju lebaran yang oke punya.” Aku berusaha membuatnya tersenyum dengan memberikan sinyal jempol ibu jari.
Sabdi terdiam. Ia menatapku dalam. Serasa aku akan tenggelam dalam danau matanya yang bening. Kemudian, “Kakak jahat!” teriaknya sambil berlari dari hadapanku.
“Sabdi!” aku berteriak berusaha mengejarnya. Namun, Bu Asih menahanku. “Biar Ibu yang urus Sabdi, baik-baikklah kau disana ya!”
“Tapi Sabdi....” suaraku tercekat di kerongkongan.
“Sudahlah, Rie. Kamu tenang saja. Sabdi hanya sedih sebentar. Nanti juga baik lagi,” Bu Asih menenangkanku.
“Rie titip Sabdi Bu!” pamitku setelah mencium tangan Bu Asih khidmat. Ia menepuk-nepuk pundakku. “Jangan lupa kabari Ibu setelah sampai disana.”
Aku mengangguk. “Titip Sabdi!” pesanku lagi pada semua teman-teman pemulung yang sibuk menyalamiku.
“Sabdi adalah adik kami juga, kau tenang saja Rie!”
“Kami akan menjaga Sabdi sekuat kemampuan kami!”
“Hati-hati di jalan!”
“Sering-sering pulang ya!”
Aku tersenyum sambil mengangguk mantap mendengar kata-kata “motivasi” meluncur dari mulut teman-temanku.
Aku melambaikan tangan pada mereka semua. Sebelum akhirnya masuk kedalam mobil. Dari kaca riben mobil, aku melihat mereka masih melambaikan tangan padaku. Aku membalas lambaian tangan-tangan itu. Meskipun aku tahu mereka mungkin tak kan melihatnya.
Deru mobil tepat menyala saat aku berkata lirih, “Sabdi,kakak akan pergi ke negeri dimana kakak akan menyejahterakanmu. Dengan kolam ayam goreng. Kakak akan bekerja keras, supaya Sabdi pakai baju first bukan second lagi,” aku menghela napas yang semakin memburu bersama deru mobil yang semakin mengaum-ngaum. Tempat pembuangan sampah lama kelamaan mulai berubah menjadi noktah kecil di kaki langit. Aku menghirup dalam-dalam udara Idul Fitri yang masih merah. Sebelum akhirnya berkata lirih,
“Ke negeri Upin dan Ipin!”


Keterangan:
Tekong : Orang yang berprofesi sebagai penyalur tenaga kerja ke luar negeri


                                                                                                Mutia Putri


Tidak ada komentar:

Posting Komentar