and this is the second cerpen ngocol aye di annida online. ada yang pernah mikir ini kisah asli aye. Tapi ini fiksi lho :D
Penulis: Mutia Putri
“Yuuuu know me doweeerrr!” Prang! Gedubrak!
“Weweeerrr... Diam! Plis jangan bikin rusuh pagi buta giniiiiii!” lengkingan tinggi suara emak, membuat gue keder.
Ampun ampuuunnn, deh, Emak! Manggilnya
Wewer lagi, Wewer lagi. Padahal gue kan punya nama asli yang ehm… cukup
manis: Sinta. Eh diganti jadi Wewer alias cewek dower. Gue ngedumel
sambil lanjut nyanyi dalam hati.
Yah, begitulah... Nyanyi di pagi hari
sudah menjadi rutinitas gue saban hari. Ibarat sayur tanpa garam, bak
terasi tanpa bau, laksana pipi tanpa jerawat, gak afdhol kalau nggak
beriringan, begitulah ibarat nyanyi buat gue.
Dan penyanyi kesukaan gue, si Diana
Rosewati, hampir mirip gue. Dari talenta sampai bibir, sama tapi tak
serupa. Bukannya mau sombong atau gimana, bibir kami sama-sama lumayan
nggak tipis (baca: tebal). Tahu kan siapa Diana Rosewati? Itu loh...
teman duetnya WestLap waktu nyanyiin lagu “When You Telmi (Telat
Mikir)”.
Dan itulah yang menjadi kelebihan gue,
B-I-B-I-R. Konon, bibir gue menganut ilmu padi, semakin berisi alias
semakin tebal semakin merunduk. Dan gue bangga? Ah… nggak juga.
Malah gue sering nangis saban malam,
saban gue ngaca. Mau itu ngaca di cermin, ngaca di spion, ngaca di
empang, sampai ngaca di kopi. Gue selalu nangis. Gelap-gelapan maupun
terang-terangan tergantung kebaikan hati PLN di sono. Kalau mati lampu
ya gue nangis gelap-gelapan di bawah sinar rembulan. Halaah, kok gue
jadi lebay gini ya? Tuh kan, air yang ada di mata gue jadi ikutan
nongol!
Apalagi saat gue sadar kalau umur gue
sudah kelewat ABG dan nggak bisa diadvokasi kak Seto lagi karena sudah
kadaluarsa masa kanak-kanaknya. Dan ketika gue sadar, tak seorangpun
yang pernah naksir gue. Boro-boro ngucapin cinta, naksir aja nggak ada!
Dan ini dia biang keladinya. Sebagai seorang makhluk Tuhan yang paling
dower, eh salah deng, sebagai mahluk Tuhan yang normal, gue juga pengen
ada yang suka sama gue, gitu lho.
Meskipun gue nggak akan pacaran, karena
pacaran nggak ada dalam agama, tapi kebutuhan untuk disukai oleh lawan
jenis, pasti ada ,dooong! Tapi kenyataan emang pahit, terkadang. Gue
suka iri aja ngeliat teman gue banyak yang naksir, sedangkan gue
setengah orang aja nggak ada. Nasiiiibbbb….! Ah, istighfar...
istighfar... istighfar, Sin!
Padahal gue nggak jelek-jelek amat kalau
dibanding sama tutup panci atau ulekan, hehe. Maksud gue dibanding
teman-teman satu kampung gue, gitu. Si Mimi yang jerawatnya segede asbak
aja ada yang naksir. Si Olid yang punya tompel seluas lapangan sepak
bola standar internasional juga ada yang mau. Coba, salah di mana gue?
Hiks.
Lo nggak salah, cuma bibir lo yang berdosa. Sisi lain hati gue menjawab kejam.
Bener apa kata sisi hati gue yang lain.
Meskipun punya tompel segede asbak dan punya tompel dengan luas
berhektar-hektar, toh bibir Mimi dan Olid tipiiiisss punya. Itulah beda
gue sama mereka.
Kadang gue suka iseng menghayal. Tiba-tiba aja ada peri nyungsep ke kampung gue terus gue dikutuk nggak dower lagi. Hwaaa, pasti asyik banget tuh. Tapi sayang, zaman sekarang, zaman di mana Facebook dan Twitter udah ngalahin sesajen kembang tujuh rupa, peri-peri, mah, udah nggak laku lagi! Termasuk peri kemanusiaan dan peri keadilan. Tapi gue cuma bisa gigit jari. Ah, andai…
Kadang gue suka iseng menghayal. Tiba-tiba aja ada peri nyungsep ke kampung gue terus gue dikutuk nggak dower lagi. Hwaaa, pasti asyik banget tuh. Tapi sayang, zaman sekarang, zaman di mana Facebook dan Twitter udah ngalahin sesajen kembang tujuh rupa, peri-peri, mah, udah nggak laku lagi! Termasuk peri kemanusiaan dan peri keadilan. Tapi gue cuma bisa gigit jari. Ah, andai…
Gue sudah usaha buat qonaah--itu bukan
nama emak gue, lho! Yang belum tahu arti qonaah, nih gue kasih
bocorannya: Qonaah itu menerima apa adanya semua pemberian Allah. Ehm,
pinter kan gue? Secara gue rajin ngaji setiap sore di musholla!
Tapi qonaah gue akhirnya sampai juga pada kematiannya.
Nah lho, gimana ceritanya? Tahan rasa
penasaran kalian, karena gue bakal ceritain kisah asal muasal gue jadi
nggak qonaah lagi. Dan siapkan tissue, karena ini kisah pilu. Halah,
malah mantun. Simak ya!
Dan dari sinilah
kisah ini bermula, dari datangnya seorang ustadz muda cakep banget ke
kampung gue, di suatu hari yang cerah berawan agak-agak mendung dan
lembab tapi menyengat.
“Namanya siapa, Ustadz?” Tanyak gue antusias setelah bisa ketemu langsung sama beliau di pasar.
Ustadz tersenyum agak malu sebelum akhirnya, “Arif!” terlontar dari bibir tipisnya. Beliau mungkin agak malu karena ketahuan lagi beli pete, begitu pikir gue.
Ustadz tersenyum agak malu sebelum akhirnya, “Arif!” terlontar dari bibir tipisnya. Beliau mungkin agak malu karena ketahuan lagi beli pete, begitu pikir gue.
"Saya Sinta.” Gue memperkenalkan diri. Padahal mah nggak diminta, apalagi ditanya.
Gue pun langsung naksir pada pandangan
entah ke berapa. Dan perlu ditekankan, gue naksir sama orang ber-BIBIR
TIPIS! Sengaja gue tekankan kata tipis, supaya orang tahu perbedaan
dasar antara gue dan ustadz Arif.
Segala perbedaan itu, membuatku jaaaaauh darimu, biarlah sang waktu menjaga cintamu…
Gue malah nyanyi lagi. Kali ini lagunya Ari Rebo, tapi gue lupa judulnya apa.
Dan mulai hari itu, gue rajin datang ke
musholla buat ikut pengajian kalau ustadz Arif yang ngisi dan selalu
duduk di tempat VVVIP alias barisan depan shaf akhwat. Kalau ustadz yang
lain yang ngisi, gue datang juga sih, meskipun duduk di barisan buntut,
hampir-hampir duduk di gerbang, malah. Hheee.
Dan hari pilu itu pun tiba. Pas inget adegan ini, gue jadi agak mewek. Gue seka dulu airmata yang meleleh bak coklat di gurun Sahara ini.
Dan hari pilu itu pun tiba. Pas inget adegan ini, gue jadi agak mewek. Gue seka dulu airmata yang meleleh bak coklat di gurun Sahara ini.
Perempuan itu nggak bisa dibilang j elek
sekalipun diliat dari pucuk monas pake sedotan es cendol yang
dipelintir. Dengan jilbab pink, dengan lesung pipi, dan dengan bibir
tipisnya yang menarik. Yang terakhir ini yang bikin gue rada sedih.
Bibir tipis tak dower. Mbak Rini, namanya. Beliau ini yang akan ngajar
ngaji gue dan temen-temen lain. Konon, Ustadz Arif yang meminta secara
khusus.
Remuk bak cucian diblender hati gue.
Ternyata semua cowok sama aja, ya!
Semuanya ngeliat dari bibir! Curhat gue pada diary sambil terisak-isak.
Diary gue pun pasrah kehujanan air mata.
Beberapa hari gue males nyanyi.
Sekalinya nyanyi, pasti lagu sedih. Lagu band Lettoy yang paling sering
gue bawain adalah “Lubang Dalam Dompet”. Itu lagu bener-bener
merefleksikan perasaan gue saat ini. Yang lagi bokek sekaligus patah
hati.
Kalo gue males nyanyi, apalagi ngaji?!
Malah gurunya yang bikin gue patah hati. Tapi akhirnya gue sadar. Patah
hati boleh, tapi patah iman NO WAY! Kereeen, kan, prinsip gue? Hehe.
Akhirnya gue ngaji lagi. Dan kekesalan
gue sama Mbak Rini, terbang bebas nggak kembali-kembali. Alhamdulillah.
Emang kekesalan nggak baik disimpan dalam hati.
“Sinta…” Panggil Mbak Rini, lembut,
suatu hari saat kita baru selesai pengajian. Dan gue terharu. Untuk
pertama kalinya ada orang yang panggil gue dengan nama asli.
“Ada apa, Mbak?” gue yang mau pakai sandal, langsung mengurungkan niat.
Mbak Rini mendekat kemudian mengangsurkan sebuah selebaran. “Mbak percaya, kamu pasti bisa!” Senyum mbak Rini lebar.
Gue membaca sekilas judul selebaran. IKUTILAH MUSABAQAH TINGKAT KECAMATAN. BERHADIAH SAPI GEMUK DAN LUCU!
Hah? Gue melongo sambil menunjuk hidung gue. Mbak Rini masih dengan senyum lebarnya, manggut-manggut.
“Sinta nggak bisa ngaji, Mbak. Kalau nyanyi dijamin bisa deh!” kata gue sekalian promosi.
“Suara Sinta kalo ngaji lebih bagus.
Mbak sudah perhatikan dari kemarin-kemarin. Tinggal belajar sedikit
lagi, pasti T-O-P deh!” Mbak Rini mengacungkan dua jempolnya. Sedikit
mirip iklan snack di tivi.
“Tapi….”
“Udaahhh… nanti Mbak yang latih.” Mbak Rini menggamit lengan gue, dan menarik gue yang masih melongo tak percaya.
***
Setelah kemenangan gue di acara
Musabaqah Tilawatil Quran tingkat Kecamatan malam kemarin, para wartawan
langsung menyerbu gue kayak artis. Duuhhh… rada-rada merona gitu deh
awalnya. Gue pasang kuda-kuda, eh salah, pasang senyum termanis yang gue
punya. Tapi demi mendengar pertanyaan nggak berperikedoweran, kemudian
gue langsung mingkem. Senyum gue langsung hilang.
Wartawati yang gue yakin belum mandi apalagi gosok gigi, itu nanya, “Mbak, bangga nggak sih punya bibir dower?”
GUBRAKS! Nggak nyambung! Gue ngedumel dalam hati.
“Bangga, dong!” Gue menjawab sambil mesem-mesem ngedipin mata kayak orang kelilipan. Karena memang gue kelilipan beneran, lho.
Dan pertanyaan-pertanyaan bernada serupa
terus terlontar dari wartawan-wartawan ini. Yang bikin gue bingung, kok
ya bukan kemenangan gue yang diekspos, tapi malah bibir gue?!
Esok paginya...
“THE POWER OF DOWER!” Begitu bunyi headline tanpa perasaan yang gue baca. Otomatis gue mencak-mencak, donk!
Tapi headline koran hari itu sudah buat
gue sadar sesadar-sadarnya. Bahwa ternyata dengan kedoweran gue, dari
situlah suara indah gue berasal.
Apalagi sekarang gue dinobatin jadi
Qoriah. Menyuarakan ayat-ayat Allah yang indah. Dan nggak penting kayak
gimana bentuk bibirnya, yang paling penting yang keluar dari bibir itu
adalah perkataan yang baik. Iya, nggak? Dan gue semakin termotivasi buat
jadi hamba-Nya yang lebih baik lagi.
Gue peluk koran itu erat-erat. Andai
dari dulu gue sadar, Allah sayang banget sama gue dengan menitipkan
bibir yang keren ini dan bukannya asyik melenguh. Melenguh? Itu sih
sapi, kaleee!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar