Selasa, 20 Maret 2012

THE POWER OF DOWER

and this is the second cerpen ngocol aye di annida online. ada yang pernah mikir ini kisah asli aye. Tapi ini fiksi lho :D

Penulis: Mutia Putri
“Yuuuu know me doweeerrr!” Prang! Gedubrak!
“Weweeerrr... Diam! Plis jangan bikin rusuh pagi buta giniiiiii!” lengkingan tinggi suara emak, membuat gue keder.
Ampun ampuuunnn, deh, Emak! Manggilnya Wewer lagi, Wewer lagi. Padahal gue kan punya nama asli yang ehm… cukup manis: Sinta. Eh diganti jadi Wewer alias cewek dower. Gue ngedumel sambil lanjut nyanyi dalam hati.
Yah, begitulah... Nyanyi di pagi hari sudah menjadi rutinitas gue saban hari. Ibarat sayur tanpa garam, bak terasi tanpa bau, laksana pipi tanpa jerawat, gak afdhol kalau nggak beriringan, begitulah ibarat nyanyi buat gue.
Dan penyanyi kesukaan gue, si Diana Rosewati, hampir mirip gue. Dari talenta sampai bibir, sama tapi tak serupa. Bukannya mau sombong atau gimana, bibir kami sama-sama lumayan nggak tipis (baca: tebal). Tahu kan siapa Diana Rosewati? Itu loh... teman duetnya WestLap waktu nyanyiin lagu “When You Telmi (Telat Mikir)”.
Dan itulah yang menjadi kelebihan gue, B-I-B-I-R. Konon, bibir gue menganut ilmu padi, semakin berisi alias semakin tebal semakin merunduk. Dan gue bangga? Ah… nggak juga.
Malah gue sering nangis saban malam, saban gue ngaca. Mau itu ngaca di cermin, ngaca di spion, ngaca di empang, sampai ngaca di kopi. Gue selalu nangis. Gelap-gelapan maupun terang-terangan tergantung kebaikan hati PLN di sono. Kalau mati lampu ya gue nangis gelap-gelapan di bawah sinar rembulan. Halaah, kok gue jadi lebay gini ya? Tuh kan, air yang ada di mata gue jadi ikutan nongol!
Apalagi saat gue sadar kalau umur gue sudah kelewat ABG dan nggak bisa diadvokasi kak Seto lagi karena sudah kadaluarsa masa kanak-kanaknya. Dan ketika gue sadar, tak seorangpun yang pernah naksir gue. Boro-boro ngucapin cinta, naksir aja nggak ada! Dan ini dia biang keladinya. Sebagai seorang makhluk Tuhan yang paling dower, eh salah deng, sebagai mahluk Tuhan yang normal, gue juga pengen ada yang suka sama gue, gitu lho.
Meskipun gue nggak akan pacaran, karena pacaran nggak ada dalam agama, tapi kebutuhan untuk disukai oleh lawan jenis, pasti ada ,dooong! Tapi kenyataan emang pahit, terkadang. Gue suka iri aja ngeliat teman gue banyak yang naksir, sedangkan gue setengah orang aja nggak ada. Nasiiiibbbb….! Ah, istighfar... istighfar... istighfar, Sin!
Padahal gue nggak jelek-jelek amat kalau dibanding sama tutup panci atau ulekan, hehe. Maksud gue dibanding teman-teman satu kampung gue, gitu. Si Mimi yang jerawatnya segede asbak aja ada yang naksir. Si Olid yang punya tompel seluas lapangan sepak bola standar internasional juga ada yang mau. Coba, salah di mana gue? Hiks.
Lo nggak salah, cuma bibir lo yang berdosa. Sisi lain hati gue menjawab kejam.
Bener apa kata sisi hati gue yang lain. Meskipun punya tompel segede asbak dan punya tompel dengan luas berhektar-hektar, toh bibir Mimi dan Olid tipiiiisss punya. Itulah beda gue sama mereka.
Kadang gue suka iseng menghayal. Tiba-tiba aja ada peri nyungsep ke kampung gue terus gue dikutuk nggak dower lagi. Hwaaa, pasti asyik banget tuh. Tapi sayang, zaman sekarang, zaman di mana Facebook dan Twitter udah ngalahin sesajen kembang tujuh rupa, peri-peri, mah, udah nggak laku lagi! Termasuk peri kemanusiaan dan peri keadilan. Tapi gue cuma bisa gigit jari. Ah, andai…
Gue sudah usaha buat qonaah--itu bukan nama emak gue, lho! Yang belum tahu arti qonaah, nih gue kasih bocorannya: Qonaah itu menerima apa adanya semua pemberian Allah. Ehm, pinter kan gue? Secara gue rajin ngaji setiap sore di musholla!
Tapi qonaah gue akhirnya sampai juga pada kematiannya.
Nah lho, gimana ceritanya? Tahan rasa penasaran kalian, karena gue bakal ceritain kisah asal muasal gue jadi nggak qonaah lagi. Dan siapkan tissue, karena ini kisah pilu. Halah, malah mantun. Simak ya!
Dan dari sinilah kisah ini bermula, dari datangnya seorang ustadz muda cakep banget ke kampung gue, di suatu hari yang cerah berawan agak-agak mendung dan lembab tapi menyengat.
“Namanya siapa, Ustadz?” Tanyak gue antusias setelah bisa ketemu langsung sama beliau di pasar.
Ustadz tersenyum agak malu sebelum akhirnya, “Arif!” terlontar dari bibir tipisnya. Beliau mungkin agak malu karena ketahuan lagi beli pete, begitu pikir gue.
"Saya Sinta.” Gue memperkenalkan diri. Padahal mah nggak diminta, apalagi ditanya.
Gue pun langsung naksir pada pandangan entah ke berapa. Dan perlu ditekankan, gue naksir sama orang ber-BIBIR TIPIS! Sengaja gue tekankan kata tipis, supaya orang tahu perbedaan dasar antara gue dan ustadz Arif.
Segala perbedaan itu, membuatku jaaaaauh darimu, biarlah sang waktu menjaga cintamu…
Gue malah nyanyi lagi. Kali ini lagunya Ari Rebo, tapi gue lupa judulnya apa.
Dan mulai hari itu, gue rajin datang ke musholla buat ikut pengajian kalau ustadz Arif yang ngisi dan selalu duduk di tempat VVVIP alias barisan depan shaf akhwat. Kalau ustadz yang lain yang ngisi, gue datang juga sih, meskipun duduk di barisan buntut, hampir-hampir duduk di gerbang, malah. Hheee.
Dan hari pilu itu pun tiba. Pas inget adegan ini, gue jadi agak mewek. Gue seka dulu airmata yang meleleh bak coklat di gurun Sahara ini.
Perempuan itu nggak bisa dibilang j elek sekalipun diliat dari pucuk monas pake sedotan es cendol yang dipelintir. Dengan jilbab pink, dengan lesung pipi, dan dengan bibir tipisnya yang menarik. Yang terakhir ini yang bikin gue rada sedih. Bibir tipis tak dower. Mbak Rini, namanya. Beliau ini yang akan ngajar ngaji gue dan temen-temen lain. Konon, Ustadz Arif yang meminta secara khusus.
Remuk bak cucian diblender hati gue.
Ternyata semua cowok sama aja, ya! Semuanya ngeliat dari bibir! Curhat gue pada diary sambil terisak-isak. Diary gue pun pasrah kehujanan air mata.
Beberapa hari gue males nyanyi. Sekalinya nyanyi, pasti lagu sedih. Lagu band Lettoy yang paling sering gue bawain adalah “Lubang Dalam Dompet”. Itu lagu bener-bener merefleksikan perasaan gue saat ini. Yang lagi bokek sekaligus patah hati.
Kalo gue males nyanyi, apalagi ngaji?! Malah gurunya yang bikin gue patah hati. Tapi akhirnya gue sadar. Patah hati boleh, tapi patah iman NO WAY! Kereeen, kan, prinsip gue? Hehe.
Akhirnya gue ngaji lagi. Dan kekesalan gue sama Mbak Rini, terbang bebas nggak kembali-kembali. Alhamdulillah. Emang kekesalan nggak baik disimpan dalam hati.
“Sinta…” Panggil Mbak Rini, lembut, suatu hari saat kita baru selesai pengajian. Dan gue terharu. Untuk pertama kalinya ada orang yang panggil gue dengan nama asli.
“Ada apa, Mbak?” gue yang mau pakai sandal, langsung mengurungkan niat.
Mbak Rini mendekat kemudian mengangsurkan sebuah selebaran. “Mbak percaya, kamu pasti bisa!” Senyum mbak Rini lebar.
Gue membaca sekilas judul selebaran. IKUTILAH MUSABAQAH TINGKAT KECAMATAN. BERHADIAH SAPI GEMUK DAN LUCU!
Hah? Gue melongo sambil menunjuk hidung gue. Mbak Rini masih dengan senyum lebarnya, manggut-manggut.
“Sinta nggak bisa ngaji, Mbak. Kalau nyanyi dijamin bisa deh!” kata gue sekalian promosi.
“Suara Sinta kalo ngaji lebih bagus. Mbak sudah perhatikan dari kemarin-kemarin. Tinggal belajar sedikit lagi, pasti T-O-P deh!” Mbak Rini mengacungkan dua jempolnya. Sedikit mirip iklan snack di tivi.
“Tapi….”
“Udaahhh… nanti Mbak yang latih.” Mbak Rini menggamit lengan gue, dan menarik gue yang masih melongo tak percaya.
***
Setelah kemenangan gue di acara Musabaqah Tilawatil Quran tingkat Kecamatan malam kemarin, para wartawan langsung menyerbu gue kayak artis. Duuhhh… rada-rada merona gitu deh awalnya. Gue pasang kuda-kuda, eh salah, pasang senyum termanis yang gue punya. Tapi demi mendengar pertanyaan nggak berperikedoweran, kemudian gue langsung mingkem. Senyum gue langsung hilang.
Wartawati yang gue yakin belum mandi apalagi gosok gigi, itu nanya, “Mbak, bangga nggak sih punya bibir dower?”
GUBRAKS! Nggak nyambung! Gue ngedumel dalam hati.
“Bangga, dong!” Gue menjawab sambil mesem-mesem ngedipin mata kayak orang kelilipan. Karena memang gue kelilipan beneran, lho.
Dan pertanyaan-pertanyaan bernada serupa terus terlontar dari wartawan-wartawan ini. Yang bikin gue bingung, kok ya bukan kemenangan gue yang diekspos, tapi malah bibir gue?!
Esok paginya...
“THE POWER OF DOWER!” Begitu bunyi headline tanpa perasaan yang gue baca. Otomatis gue mencak-mencak, donk!
Tapi headline koran hari itu sudah buat gue sadar sesadar-sadarnya. Bahwa ternyata dengan kedoweran gue, dari situlah suara indah gue berasal.
Apalagi sekarang gue dinobatin jadi Qoriah. Menyuarakan ayat-ayat Allah yang indah. Dan nggak penting kayak gimana bentuk bibirnya, yang paling penting yang keluar dari bibir itu adalah perkataan yang baik. Iya, nggak? Dan gue semakin termotivasi buat jadi hamba-Nya yang lebih baik lagi.
Gue peluk koran itu erat-erat. Andai dari dulu gue sadar, Allah sayang banget sama gue dengan menitipkan bibir yang keren ini dan bukannya asyik melenguh. Melenguh? Itu sih sapi, kaleee!

NAZAR MINUL

Kalo yang ini, cerpen ngocol pertama aye di annida online. Tengkyu bagi sobat reader yang udah niat baca :)))
Yang udah baca, aye doain jadi cakep deh :D

Penulis: Mutia Putri


“Woooiii semua... Bapak-bapak, Ibu-ibu, semua yang ada disiniiihh... Minul mau nazar, nih, dengerin, ya!"

"Kalau Minul lolos SNMPTN 2011, Minul bakal nyanyi dangdut di pasar ini pake kebaya plus konde, plus make-up tebel. Ini nazar Minul!”

Dan suara gledek serta kilatan cahaya lampu neon menyambut nazar Minul yang berkumandang. Persis kayak film-film horor di teve-teve. Jelegerrr..!

***

Kalender bergambar hewan panda sedang makan rumput itu beberapa hari ini menjadi pusat perhatian Minul. Setiap melintas di depan, di belakang, di samping itu kalender, saat mau mandi, saat mau tidur, saat mau minum, saat bernapas, saat kelilipan, saat bersin, saat apapun, Minul akan menyempatkan diri sungkem dan nongkrong berlama-lama sambil minum kopi di depan kalender itu. Mata Minul selalu fokus mengamati tanggal yang dilingkar merah tebeeeelll banget pakai lipstick merah menor satu-satunya milik Emak. Tanggal apa itu, ya?

Taraaaa… ternyata pengumuman SNMPTN 2011. Apaan tuh SNMPTN?

“Itu lho, Mak, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Ngeri!” jawab Minul suatu hari, saat Emaknya yang modis itu nanya.

“Kok Ngeri, Nul?” Emak nanya lagi dengan polosnya.

“Ngeri lah, Mak! Karena menurut desas-desus yang nggak tau becus apa nggak, sampai ada peserta yang pake orang "dalem" segala lho demi lolos!” Minul yang lagi asyik masyuk mantengin acara realistis show “Termewek-mewek”, ngejawab tanpa mengalihkan perhatian dari teve 14 inch jadul (masih hitam putih, getoh!). Dan koor "ooooo" panjang Emak terdengar nyaring kemudian.

Gara-gara besok pengumuman SNMPTN 2011, ia jadi susah makan, susah tidur, susah bohongin Emak lagi (uppsss), susah ngutang lagi di warung--karena emang hutang yang kemaren belum lunas. Pokoknya susah semua-muanya, deh.

Dan akhirnya, hari yang dinantikan pun tiba. Deg-deg, deg-deg, deg-deg...

Dengan pengorbanan yang nggak sedikit, akhirnya... Jreng-jreeeeng! Koran hari itu resmi ada di tangan gembrot Minul.

Bukan karena doyan baca koran, lho. Cuma demi melihat pengumuman SNMPTN 2011 hari itu, Minul rela baca koran. Mau lihat via internet, di kampungnya belum ada warnet. Tahu kenapa..? Karena warnet masih kalah tenar sama warkop. Modem? Mana kenal Minul yang begituan! Secara rumahnya di desa paling ujung Bandung!

Apalagi perjuangan buat ngedapetin tuh koran, wuiiihh… patut diacungin empat jempol! Sejak pagi, Minul sudah bela-belain silaturahim ke tukang ojek-tukang ojek di desanya. Barangkali ada yang terketuk pintu hatinya buat nganter Minul ngejar-ngejar tukang koran pagi-pagi buat nyari koran yang emang cuma ada di kota aja. Dan akhirnya, salah seorang tukang ojek yang bernasib naas hari itu terkena bujukan maut Minul. Setelah diiming-imingi cerita sediiiihhh banget tentunya.

“Mau ya, Pak, anter Minul? Tanpa bapak, masa depan Minul akan gelap lap lap!” Minul mulai melancarkan aksinya sambil pasang muka gelap beneran.

Tukang ojek yang memang hatinya gampang tersentuh, itu akhirnya mau mengantar Minul, “Hikssss iya, Nul, Bapak anterin. Jangan putus asa menggapai cita-citamu, ya!” Minul mengangguk girang. Aheeeyyy!

Dan setelah koran berisi daftar nama peserta lolos SNMPTN 2011 di tangannya, dengan semangat 45 setengah, Minul membolak-balik koran itu. Disusurinya satu per satu deretan nama-nama yang bejibun.

Si Rico, tetangga Minul yang punya nama asli Dudung, lolos masuk Fakultas Kekurangan Gizi Universitas Gajah Manyun.

Si Ani, anak pak Kades, lolos masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indomendut jurusan Angkutansi, alias yang ngurusin angkutan umum, angkutan kota, angkutan desa, dan semua jenis angkutan yang pernah hidup di bumi.

Si Bebi, anak paling centil di sekolahnya, akhirnya sukses masuk Fakultas Peternakan Universitas Padajalan jurusan Ternak Virus dan Bakteri.

Minul berdecak kagum dengan teman-temannya yang sudah lolos. Sedangkan dirinya... masih belum jelas juntrungannya. Ia hampir putus asa saat nama-nama di koran itu hampir habis.

Tapi, tunggu dulu pemirsa. Saat hampir putus asa dan ingin menuntut pemilik koran itu (karena Minul haqqul yakin kalau koran itu sentimen padanya), mata Minul menangkap sebuah nama yang sudah familiar. Tertulis dengan jelas nama itu di baris ke-dua paling bawah daftar nama.

AMINUL WATI

“Horeeeeee..!” Minul memekik girang. Matanya merem melek. Tangannya meninju-ninju udara. Kakinya melompat-lompat nggak bisa diem.

Hampir aja Minul masang kuda-kuda buat kopral keliling desa. Untungnya, Emak yang lagi asyik ikutin senam dari radio, sadar akan tingkah anaknya.

“Nuuuuuuulll. jangan, Nul. Istighfar, Nul..! Aduh-aduh, ngidam apa dulu Emak, sampe lo doyan kopral keliling kampung?” emak mengelus dada.

Minul menghentikan rencananya untuk kopral. Langsung ia perlihatkan koran itu pada Emak, “Minul lolos nih, Mak! Minul jadi tukang insinyur, Maaaaaakk....”

Emak membaca dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya (gaya kan, Emaknya Minul? Padahal sekolah juga enggak!), “Wuih... hebat bener anak Emak. Emak bangga punya anak kayak Minul. Hiks...,” Emak ikutan girang campur terharu. “Fakultas apa, Nul?”

Minul menepuk dada dengan bangga, “Anak siapa dulu... Anak Emak! Hheee... Fakultas Teknik Universitas Padajalan, Mak. Jurusan Teknik Menanam Palawija!”

Emak kontan bengong. “Kok mirip pertanian, Nul?” batin Emak bertanya-tanya sambil ngelanjutin senam yang sempat terputus tadi. Yak… satu dua tiga empat!

Minul yang girang segirang-girangnya, mendadak teringat akan nazarnya sebulan lalu. Nazar yang dibuatnya di ,tengah malam dengan asa yang sekarat. Nazar yang telah ia publikasikan di depan banyak orang di pasar dekat rumahnya: Kurang Asem. Nazar yang, ahhh… najong tralala sebenarnya. Tapi, mau gimana lagi? Nasi sudah habis dimakan, janji haruslah segera ditunaikan!

“Emaaakkk… pinjem kebaya, duoooongg!” lolong Minul.

***

Subuh buta, Minul mengecek satu-satu list yang telah dibuatnya semalam.

Kebaya, oke. Lumayan dapet pinjeman dari Emak. Meskipun kebaya jaman behula, (Warnanya nggak nahan... Ungu dangdut. Manik-maniknya apalagi... segambreng!). Tapi lumayan lah, masih ada kancingnya.
Konde, oke.
Spiker segede gaban, oke.
Radio plus Kaset dangdut, oke.

Dan semuanya oke. Minul sudah siap. Saat Abangnya yang lagi ngangonin kambing lewat, “Cie cei... Susah suwiiittt! Si Minul mau ngalahin ondel-ondel kayaknya, niy yeh!”

Si Bandot, kambing kesayangan abang Minul, pun, ikut angkat suara. Kalo Abang Minul pake suara 1, si Bandot pake suara 2 ala dunianya , “Mbeeeekkk eeeek eeeek eeeek!”

Minul melengos. “Huuu... pait! Adiknya mau menunaikan nazar, didukung, kek! Ini malah kompakan ngejek!”

Abang Minul cekikikan sambil berlalu menarik si Bandot. Tak lupa memberikan pesan sponsor, “Hati-hati, Nul, bisa ditangkep trantib lho, disangkain bencong kalong! Hahaha....”

Minul masem-mesem. Mimpi buruk emang punya Abang kayak Bang Miing. Minta ditimpuk pake e* kambing mulu!

Setelah cium tangan dan minta doa restu Emak, Minul berangkat ke pasar. Lokasi penunaian nazar, begitu Minul menyebutnya.

Benar saja, di jalan ia disapa dengan "ramah" oleh anak-anak yang menyangkanya ondel-ondel lah, topeng monyet lah, badut lah, celepuk lah... Bahkan ada yang menyebutnya Luna Maya! (lho?). Tapi Minul nggak surut langkah. Demi menunaikan nazar, ia rela meski harus dikatain. Hikssss…. Berbuat baik emang rada-rada sulit ternyata.

Meskipun masih pagi, pasar Kurang Asem sudah terlihat penuh dengan orang dan barang dagangan. Mau ngelangkah kudu sepuluh senti-sepuluh senti. Mau balik ke rumah juga susah. Ramai jaya! Mata Minul jelalatan mencari tempat yang cocok untuk konser yang dinamakannya konser nazar ini. Keren nggak, tuh?

Dan lokasi yang dipilih Minul adalah di bawah pohon asem yang lagi berbuah lebat. Cuma berjarak sepuluh meter dari tukang jualan obat yang saban hari mangkal di pasar.

Minul melakukan gladi bersih. Beberapa Emak-emak yang kebetulan lagi menggelar dagangannya, menyapa Minul dengan ramah.

“Mau ngamen, Neng?” Emak yang pake kebaya ijo nanya.

Minul mesem-mesem, “Duuuhh, Emak... Minul udah cantik begini dikirain mau ngamen?” Minul geleng-geleng.

“Terus mau ngapain donk, Neng?” Emak yang disebelahnya ikutan nimbrung.

“Minul mau menunaikan nazar, Mak. Karena sudah lulus ke SNMPTN. Bukannya menunaikan nazar itu wajib hukumnya?”

Emak-emak pada ngangguk. “Bener itu, Neng. Lanjutkan! Kampung ini bangga pada anak muda yang menepati janjinya seperti Eneng. Orang kayak Eneng, pantesnya jadi wakil rakyat!”

Meskipun nggak nyambung, kata-kata semangat dari emak-emak di pasar membuat Minul semakin terpacu untuk memberikan suara terbaiknya. Olah vokal tadi pagi di kamar mandi sudah ia lakukan, tinggal tunggu hasilnya. Minul senyum-senyum sendiri. Indonesian Odol mah, lewaaaaattt..!

Dhuha sudah tua saat Minul selesai menyiapkan semuanya. Dengan pengeras suara, Minul mulai memanggil orang-orang untuk mendekat.

“Ibu-ibu, Bapak-bapak, Adek-adek, Kakak-kakak, Nenek-nenek, Kakek-kakek, semuanya yang bernyawa, mari saksikan sebuah konser fenomenal! Dengan menonton konser ini, berarti sudah membantu seseorang menunaikan nazarnya. Yang nggak mau nonton, Minul sumpahin panuan delapan turunan,” Minul koar-koar sambil ngancem sadis.

Tukang obat yang mangkal sepuluh meter di sampingnya, merasa tersaingi. Ternyata suara Minul nggak kalah cempreng sama suaranya.

Minul terus koar-koar. Entah karena penasaran sama aksi Minul, atau takut panuan delapan turunan, orang-orang mulai mengerubungi tempat konser Minul.

“Terima kasih atas kehadirannya,” Minul memasang senyum terlebarnya,. “Sekarang saya akan menyanyikan beberapa lagu dangdut. Sebagai lagu pembuka, karena kita sedang berada di pasar, saya pilih sebuah lagu lawas dari Bang Haji Rhoma Irama yang masih ada hubungannya dengan pasar. Sebuah lagu yang berjudul: BE-DA-GANG!” dengan suara agak diberat-beratkan layaknya penyanyi aslinya, Minul memulai aksinya.

Tepuk tangan dan suit-suitan riuh menyambut judul lagu yang akan dibawakan Minul. Karena semua yang hadir memang dari kalangan pedagang dan dangdut memang lagu rakyat. Semua menyambut maksud baik Minul. Minul semakin sumringah.

Saat sudah siap-siap angkat suara, tiba-tiba dari kerumunan penonton muncul sesosok wanita berjubah hitam seperti Zoro, menarik tangan Minul yang lagi mangap. Wanita itu ,meariknya menjauhi kerumunan penonton dan akhirnya berakhir di belakang los pedagang beras.

Minul yang shock belum mengenali sosok di depannya, “Si… siapa kamu?”

“Sssttt…. Saya Ustadzah Mely, Nul,” ternyata wanita berjilbab hitam lebar seperti Zoro itu ialah guru ngaji Minul dulu waktu di TPA.

“Mely Goeslow?” Minul terpekik girang, masih belum sadar saking shocknya.

“Bukan Mely Goeslow, Nul… tapi Ustadzah Mely Mellow!” Ustadzah Mely menepuk-nepuk kedua pipi Minul supaya sadar.

“Ohh… Ustadzah Mely? Maaf, Ustadzah. Kok Ustadzah bisa ada di sini?”

“Minul kenapa berpakaian mirip ondel-ondel begini?” Ustdazah Mely menunjuk wajah Minul yang penuh make-up super tebeeell.

“Minul mau menunaikan nazar, Ustadzah. Kan menunaikan nazar wajib hukumnya., Ustadzah,” jawab Minul polos.

Ustadzah Mely mengangguk-angguk. “Memang nazarnya apa, Nul?”

Minul menceritakan nazarnya. Ustadzah Mely ngangguk-angguk lagi. “Tapi nazar yang buruk nggak wajib ditunaikan, lho!” komentar ustadzah Mely kemudian.

“Bukannya semua nazar wajib ditunaikan, Ustadzah?”

Mata Ustadzah Mely berkilat, “Bener nazar itu wajib ditunaikan. Tapi pengecualian untuk nazar yang tidak baik, Nul! Itu tidak wajib ditunaikan, malah bahaya kalau ditunaikan,” ceramah ustadzah Mely berapi-api. Untung nggak pake muncrat!

Sementara, di panggung yang sudah Minul siapkan, orang-orang mengelu-elukan nama Minul.

Minul.. Minul.. Minul.. Minul..

“Berarti nazar Minul ini nggak baik ya, Ustadzah?”

“Menurut Minul gimana? Nyanyi-nyanyi sambil joget-joget pake make-up tebel-tebel, di depan yang bukan mahram lagi!”

Minul manggut-manggu,. “Salah ya, Ustadzah?”

“Ya iya dong, Nul! Masak ya iya lah! Menara Pisa aja agak condong, masak conlah! Bukan menara Pisa, donk....”

“Hehehe… Terima kasih, Ustadzah, sudah ingetin Minul. Jadi Minul nggak perlu dong, lanjutin konser nazar ini?”

Ustadzah Mely mengangguk-angguk riang. “Kalau begitu, sekarang Minul pulang aja ya, penonton biar ustadzah yang urus.”

“Ustadzah Mely mau konser juga?” Minul bertanya tanpa dosa.

“Liat aja nanti!” Mata ustadzah Mely penuh misteri. Tak hanya berkilat kali ini, tapi juga berpetir.

Minul yang disuruh pulang oleh ustadzah Mely, tidak langsung pulang. Dari balik semak-semak, Minul memperhatikan konser jenis apa yang akan dibuat Ustadzah Mely. Penasaran, Boook!

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” sontak penonton menjawab salam ustadzah Mely .

Ustadzah Mely melanjutkan, “Jama'aaaaaah… atas nama Minul, saya Mely Mellow meminta maaf, karena Minul tidak bisa melanjutkan konser ini.”

Huuuuu..!

Kerumunan penonton menggaduh. Ustadzah Mely melanjutkan, “Tapi tenang saja, saya yang akan melanjutkan konser ini.”

“Serius, Ustdazah?” salah seorang Bapak yang mengenakan kaos partai, bertanya.

“Iya, Bapak,” Ustadzah Mely menganggukkan kepalanya sambil tersenyum penuh misteri, ”Dan sambutlah konser yang saya beri nama konser surah Al Baqarah Ayat 1 sampai selesai!” Ustadzah Mely tersenyum lebar sekali.

Minul cekikikan meskipun bentol-bentol digigit nyamuk penghuni semak yang rakus-rakus semua. Nggak bisa liat ada manusia gemuk dikiiitt, langsung maen gigit aja. Mending pake salam dulu.

Back to penonton, kita tinggalkan Minul yang lagi bertarung hidup mati di balik semak sana. Semua penonton kontan menggerutu dan langsung ngacir tanpa komando.

“Loh-loh, Jama'aaaaahhh... Bapak-bapak, Ibu-ibu, mau kemana?” tanya ustadzah Mely terbawa angin. Penonton keburu kecewa.

Ustadzah Mely tersenyum lebar meskipun penontonnya kabur semua. “Kapan lagi pengajian di pasar!”

“Emang enak dikerjain? Hehehe…,” Minul cekikikan. Nazar konyolnya tak harus ditunaikan. Tapi sepertinya ada yang kelupaan. Apa ya? Minul bertanya-tanya. Alamaaaakkk…. Ia ingat sekarang. Minul menepuk jidatnya yang seluas lapangan golep. Nazar yang satunya. Nazar SNMPTN juga.

Nazar puasa SATU BULAN non-stop. Minul pingsan seketika. Gubraaaakkk!.





*Buat semua yang menanti pengumuman SNMPTN 2011... nazar yang baik-baik, ya, misalnya traktir satu kampung kek! Sekalian perbaikan gizi, peace!!! n_n

Senin, 19 Maret 2012

PERNIKAHAN SUNYI

ini nih cerpen pertama aye di annida online yang dimuat tanggal 30 September 2011, terinspirasi dari kisah nyata di salah satu dusun di Lombok, cekidot!! happy reading reader :D 


Aku memandangmu lekat. Yang memakai celana putih, koko putih dan peci putih itu, namanya Hari. Kau terlihat gugup sekali. Butiran keringat sebesar biji kedelai berlomba keluar dari pori-pori tubuhmu. Aku pun bisa merasakan kegugupan yang sama. Bagaimana tidak, ini adalah hari pernikahanmu. Ijab kabul pasti akan terasa sangat berat. Terlebih lagi ini adalah pernikahan pertamamu.
Sepi. Sunyi. Tak lazim untuk sebuah pernikahan yang normal. Tak ada janur kuning yang melengkung meriah. Yang ada hanyalah bendera kuning. Tak ada jamu-jamuan bak pesta penuh suka cita. Di ruang ini, hanya ada air mata yang meluap tumpah. 
Pandang terus kuedarkan. Tak ramai. Hanya ada beberapa orang berpakaian hitam yang sibuk membaca yaasiin. Kau membetulkan letak pecimu yang agak miring. Sedikit lebih tenang.
Ah iya. Aku belum becerita tentang mempelai wanitanya. Dia ada. Dekat. Mungkin tak tepat jika kureka itu adalah 3 meter dari mempelai pria. Tapi kurang lebih, seperti itulah jaraknya.
Dia kakakku. Hani. Nama mempelai wanita yang kini terbujur kaku itu. Ya, dia sudah meninggal beberapa jam yang lalu. 
Dan jelas ini bukan pernikahan biasa. Karena kau akan menikahi jasad tanpa nyawa.
Seseorang merangsek maju, membisikkan sesuatu di telingamu. Kau mengangguk-angguk. Entah apa yang orang itu bicarakan padamu. Terlihat kau menarik nafas panjang sebelum membuangnya keras.
Setelah orang itu berlalu, sejurus kemudian seseorang yang dipanggil penghulu, datang. Dan mengambil posisi berhadapan denganmu. Kau memejamkan mata sesaat untuk bersiap.
“Di mana walinya?” seorang perempuan berseru parau. Suasana sedikit riuh.
Tak lama kemudian, seorang bapak muncul dari dalam kamar. Wajahnya sendu. Gelayut duka itu masih bersisa rupanya.
“Ayo kita mulai!” serunya setelah tepat duduk di samping penghulu. Kau menjabat tangan tua itu, tangan Amaq [1] ku. Prosesi ijab kabul dimulai.
* * *
Satu jam yang lalu sebelum akad nikah…
“Tolong segera!” seru seseorang panik.
“Siapa yang mau jadi sukarelawan?” timpal seseorang.
Hiruk pikuk masih membahana di rumah duka. Beberapa laki-laki muda memilih mundur. Tak ada yang mau.
“Ayo, kita harus cepat menikahkan Almarhumah Hani sebelum dikubur!”
“Apa almarhumah punya kekasih?”
“Sepertinya tidak!”
Dan riuh itu berlanjut. Keluarga besar sibuk mencari suami untuk alamarhumah Hani. Tapi, siapa yang sudi? Siapa yang mau menikahi mayat?
Beberapa laki-laki muda ditawarkan, tapi tak ada yang mau. Gelengan-gelengan itu jelas menandakan mereka tak mau menjadi duda karbitan.
Ah…. Hani. Kakak sulungku, hanya satu dari perempuan bernasib malang di muka bumi. Perempuan yang baru saja menginjak usia 22 tahun itu harus mati muda secara tragis dalam sebuah kecelakaan maut.
Kak Hani meregang nyawa di saat sedang mencari nafkah. Angkutan desa yang ia tumpangi terguling masuk jurang. Tiga orang tewas, Supir, kenek, termasuk Kak Hani. 
Aku rasa tak cukup airmata untuk mengiringi kepergian Kak Hani. Ia terlalu baik. Kakak yang sangat bertanggung jawab bahkan pada yang bukan kewajibannya. Aku sangat kehilangan kak Hani. Sampai aku lelah menangis.
Aku memandang foto Kak Hani di ruang tamu. Gadis manis yang baik hati, saudara yang sangat pengertian, gumamku. Namun, sekaligus gadis yang malang. Sebelum meninggal, hidupnya penuh perjuangan. Banting tulang membiayai sekolahku dan adik-adiknya yang lain. Bahkan saat sudah meninggalpun, ia dihadapkan pada masalah yang rumit ini, menikah.
Tak ada dalam islam menikahi mayat. Dan aku tahu persis, pasti Kak Hani akan menentang ini semua jikalau ia masih hidup. Tapi apa mau dikata. Dusun ini patuh pada sunnah yang kebablasan.
“Bukan ummatnya Nabi Muhammad SAW yang tidak menikah!” Mereka bersikeras berdalih.
Dan aku, sampai ngotot jungkir balik berargumen, tetap tak mau mereka bergeming.
“Tapi tak ada gunanya! Yang menikah sudah meninggal. Semua amalannya terputus kecuali 3 hal, ilmu yang bermanfaat, anak yang sholeh yang selalu mendoakan, dan amal jariyah,” Aku masih mencoba berargumen, “Ini pernikahan yang sia-sia!” lanjutku.
“Alaaah… tau apa kamu soal agama! Anak kecil kok berani-beraninya lawan orang tua., sela mereka balik padaku.
Aku bungkam. Hal yang sia-sia berdebat dengan orang-orang keras kepala seperti mereka. Sama seperti sia-sianya pernikahan ini. Lagipula aku cukup tahu diri. Aku hanyalah anak kecil, masih SMA. Pengetahuan agamaku tak cukup dalam untuk meladeni mereka. Setidaknya aku telah mencoba. Yang aku syukuri, aku  masih bisa membedakan yang mana yang benar dan yang mana yang salah.
Sampai akhirnya pernikahan Kak Hani digelar setelah keluarga harap-harap cemas tak ada satupun yang sudi menikahi Hani.
“Saya bersedia menikahi almarhumah Hani!” kata seorang pemuda dari dusun sebelah yang disambut dengan lantunan hamdalah dari keluargaku. Bak pahlawan,  kau muncul di saat yang tepat.
Ya. Lelaki itu adalah kau, Hari. Seorang pemuda berwajah teduh dan sederhana dalam penampilan. Seorang fresh graduate dengan IPK cum laude.
Bagaimana bisa? Tanyaku dalam hati. Seorang berpendidikan sepertimu mengiyakan pernikahan aneh ini?
Aku masih tak percaya, sampai pada akhirnya kau didandani bak pengantin dalam pernikahan sungguhan yang normal. Entah meminjam dari salon mana semua pernak-pernik pernikahan ini.
Aku hanya bisa menyesali keputusanmu yang kuanggap sangat ekstrim itu. Keputusan yang sangat nyeleneh untuk orang berpendidikan sepertimu. Namun, ah… sudahlah. Pasti kau punya pertimbangan sebelum memutuskan untuk menjadi duda instan.

Namun, aku masih tetap penasaran. Aku menyikutmu, “Kenapa mau, Kak? Ini pernikahan yang sia-sia. Kakak tak takut dosa?” pelan dan dengan volume kecil setengah berbisik, aku bertanya padamu saat kau telah selesai berdandan.
Mata elang milikmu menatapku. Tak bisa kudeskripsikan makna tatapan itu. Ada luka, ada takut, ada cemas, ada gugup, ada…. ah, tak bisa terdeskripsikan lebih nyata lagi. Campur aduk semuanya.
Kau tersenyum, “Tak apa-apa!” Jawabanmu sangat kontras dengan mimik wajahmu yang tegang dan cemas.
“Ini bukan masalah apa atau tak apa-apa, Kak. Ini tentang dosa. Tentang pertanggungjawaban di akhirat kelak. Kasihan Kak Hani,” suaraku agak menegang. Namun, aku tetap berusaha mengontrol suaraku agar tak memicu pandang yang lain.
Kau tersenyum lagi. Aku kehabisan kata-kata.
“Ayo, Nak! Pernikahannya sudah mau dimulai,” Bibi datang dan menghentikan percakapanku denganmu. Kau segera berlalu mengikuti langkah bibi. Aku sempat melihat tanganmu menggigil sebelum berlalu.
* * *
“Saya terima nikahnya Haniati binti Mansur dengan mas kawin sebuah kitab suci Al Quran dibayar tunai!” 
Dan akhirnya ijab kabulpun tunai di samping jenazah Kak Hani yang terbujur kaku. Statusmu pun resmi berubah menjadi duda.
Aku menyeka air mata yang mulai tumpah lagi. Kak Hani, aku membayangkan ia menikah dalam keadaan hidup. Betapa bahagianya wajah kak Hani dalam imajinasiku.
“Kakak akan menikah suatu hari nanti, terus punya anak yang lucu-lucu!” Masih kuingat jelas perbincangan kami tepat di hari ulang tahun Kak Hani yang ke-22, satu minggu yang lalu.
“Aamiin! Segera, Kak!”
“Secepatnya!” Kak Hani tersenyum.
Dan kini, Kak Hani telah menikah. Sesuai keinginan yang ia lontarkan padaku waktu itu. Meskipun akhirnya, Kak Hani menikah tanpa nyawa.
* * *
Pekuburan ini telah lengang. Jasad Kak Hani telah dikembalikan ke bumi. Pelayat-pelayat satu persatu meninggalkan tanah pekuburan ini. Sampai akhirnya keluagaku, inaq [2], amaq, dan saudara-saudaraku yang lain berlalu.
Aku mencium nisan kak Hani sebelum berlalu. Namun, aku urung pergi saat melihat kau masih berjongkok di sisi kubur kak Hani. Aku tak percaya, kau menangis.
“Maaf, Hani,” Kau terisak sambil memegang nisan, “Aku tak berniat membuatmu seperti ini.”
Aku memegang bahumu, “Ayo, kak Hari! Kita pulang!”
Kau menggeleng, “Aku telah berdosa! Hani meninggal gara-gara aku.”
“Maksud Kak Hari?” aku tak mengerti sampai akhirnya panjang lebar kau menjelaskan.
“Aku yang menyebabkan angkutan yang ditumpangi Hani masuk jurang. Angkutan itu  mencoba menghindariku yang menyalip truk dari arah berlawanan. Supir banting setir ke kiri kemudian tak mampu mengendalikan laju mobil sehingga lolos masuk jurang.”
Pengakuan itu begitu menyakitkan. Aku seperti tak menapak bumi. Rahasia yang sungguh menyakitkan bagiku dan bagi keluargaku jikalau mereka tahu.
“Kenapa?” aku menangis, “Kenapa baru katakan sekarang?”
“Maafkan kakak,” Kau menangis dalam tunduk, “Kakak tak sengaja!”
Aku menatapmu dengan kecewa yang membuncah. Kau pahlawan yang tak lebih dari seorang pembunuh di mataku kini. Aku berlari membawa airmata, pulang.
Aku menengok ke belakang sesaat, melihatmu memeluk nisan Kak Hani dalam tangis yang semakin menjadi. Tapi aku tak peduli. Luka ini lebih perih lagi.

Epilog
Untuk menebus rasa bersalahmu, kau menyerahkan diri pada polisi. Saat aku menjengukmu di bui, kau menyambutku dengan senyum. Dan aku tak punya alasan untuk tidak membalas senyummu. Karena aku yakin, kak Hani juga telah memaafkanmu.
***

Keterangan:
[1] Amaq: Bapak dalam bahasa Lombok
[2] Inaq: Ibu dalam bahasa Lombok

**Terinspirasi dari sebuah kebiasaan masyarakat di sebuah dusun di Lombok yang menikahkan gadis-gadis yang meninggal dalam usia muda.



Selasa, 03 Januari 2012

Menggadai Matahari



Ditengah kegelapan, aku berusaha mencari satu berkas itu. A Glow in the dark. Begitu aku menyebutnya. Sebuah cahaya dalam gelap. Namun, semua jalan serasa buntu. Dan jalan satu-satunya adalah ... Menggadai Matahari!
* * * * *
Aku punya seorang adik yang sangat tergila-gila pada Upin dan Ipin. Semua gaya 2 bocah Malaysia itu diikutinya. Dari gaya bicara sampai hobi mereka. Aku juga heran pada adikku yang sudah 1 bulan ini divonis oleh pak mantri busung lapar. Darimana ia tahu tentang Upin dan Ipin padahal kami tidak punya televisi. Oho dan suatu hari aku tahu. Itu saat aku memergokinya sedang asyik nonton kaset Upin dan Ipin di salah satu penjual kaset bajakan di pasar. Ia begitu terpesona pada sosok Upin dan Ipin yang dapat berpuasa sehari penuh. Bahkan ikut salat tarawih bersama opa dan kakaknya yang galak. Begitu salah satu adegan dalam serial Upin dan Ipin yang sempat ku tonton. Tak kupungkiri, cerita Upin dan Ipin sangat menarik. Pantas saja, adikku begitu tergila-gila padan mereka.
“Pokoknya Kak, Sabdi akan puasa penuh di tahun ini!” ucapnya suatu hari padaku dengan berapi-api. Aku tentu saja bahagia mendengarnya. Namun, seketika aku menjadi lunglai saat ia menginginkan suatu hal yang tidak mungkin ku penuhi.
“Tapi buka puasanya pake ayam goreng ya seperti Upin dan Ipin.” pintanya manja, “Kakak mau belikan kan?”  aku tersedak.
“Ehm... ehm iya, yang penting Sabdi puasanya pol.” Entah sadar atau tidak, kata-kata itu muncrat dari kerongkonganku. Sabdi terlihat riang sekali. Banyak bintang tiba-tiba hadir dimatanya.
“Horreee...!!” Sabdi jejeritan sambil loncat-loncat. Aku nyengir melihat tingkahnya. Dan cengiranku hilang seketika saat aku ingat ucapanku tadi. Ayam? Dapet darimana???
Sabdi masih jejeritan saat lututku tiba-tiba terserang chikungunya. Lemas seperti jelly.
  * * * * *
Aku, usiaku baru 15 tahun, saat aku menemukan Sabdi di bawah langit biru abu-abu. Degradasi warna asli langit yang diciptakan Allah dengan warna asap-asap yang mengudara. 
Akhirnya aku harus menceritakan bahwa Sabdi memang bukan adik kandungku. Tapi nasib mengkandungkan kami. Aku merawatnya sejak masih orok. Dibawah tumpukan sampah-sampah anorganik yang baunya sengit, aku menemukannya tanpa tangis sama sekali. Ya, tempat pembuangan sampah. Dibalik balutan kain batik coklat, Sabdi bayi terlihat biru. Biru seperti langit.
Kugendong bayi itu dengan hati-hati. Aku sempat ragu padanya waktu itu. Aku pikir dia sudah mati. Namun, jantung itu aku rasakan tanda kehidupannya. Aku membawa bayi yang kuberi nama Sabdi itu segera ke istana kardusku. Aku tak mau menghubungi polisi. Malas berhubungan dengan mereka. Lagipula, disini adalah istana Sabdi. Istana bagi orang-orang terbuang.
Kehadiran Sabdi segera disambut hangat oleh keluarga besar pemulung di TPS. Semua menyayanginya. Dan sejak saat itu, Sabdi resmi jadi adikku. Tanpa akte ini dan itu. Hanya pengakuan dari keluarga besar pemulung, itu sudah cukup aku rasa. 
Kini Ramadhan tinggal 2 hari lagi. Sabdi membuat kepalaku akhir-akhir ini cukup puyeng. Harga sembako semakin meningkat. Ia pengen makan ayam goreng. Dan itu, ayam goreng itu akan menajdi lauknya berbuka setiap hari sepanjang Ramadhan. Dapat darimana ayam goreng itu??? Dari langit kah??? Ahh... andai aku se-sholehah ibunda Maryam, mungkin ayam goreng itu akan turun sendiri dari langit.
“Kamu kenapa, Rie? Kok mukanya dilipet begitu?” Ibu Asih tba-tiba sudah duduk disampingku. Aku nyengir. Bingung harus berekspresi bagaimana lagi.
“Kok nyengir? Ada apa, Nak?” Ibu Asih membelai kepalaku lembut.  Aku menggeleng. Mengekspresikan bahwa aku baik-baik saja.
“Sabdi nakal lagi?” Aku menggeleng lagi-lagi.
“Jujurlah sama Ibu. Masalah Sabdi lagi kan?” Ia seperti peramal, tahu semua apa yang aku rasakan. Apa mungkin semua orang tua akan selalu begitu.
Kini tak ada lagi gunanya aku berbohong. Aku melengos, “Iya, Bu!”
“Masalahnya apa?”
“Sabdi maunya buka puasa pake ayam goreng. Sedangkan Ibu tahu sendiri, pemerintah sulit menekan harga sembako. Untuk orang papa seperti kita, harga ayam sangatlah mahal tentunya.” curhatku mengalir lancar, sampe acara bawa-bawa pemerintah segala.
“Kalo masalah uang, itu gampang Rie. Ibu sudah pernah nawarin kan waktu itu.” Aku tercenung. Oh ya??
“Kan kamu bisa pinjam uang di Bu Ais.” Sarannya enteng.
Minjem uang di rentenir plus tekong* itu! Aku menggeleng cepat.
“Tidak Bu!”
“Lho, kenapa? Itu solusi satu-satunya, Nak!”
“Rie pikir-pikir dulu Bu!” kataku akhirnya pasrah.
Ibu Asih memegang pundakku. Senyumnya terkembang. “Pikirkan masak-masak, Nak! Buat adikmu. Buat Sabdi!”
* * * * *
Sabdi koar-koar terus sepanjang hari ini. Ia berceloteh panjang lebar, ngalor-ngidul pada semua temannya. Sabdi bercerita pengalamannya (padahal belum pernah) makan ayam goreng. Uhhh... aku jadi semakin keriting saja dibuatnya. Semalam saat aku membuka celengan ayam jago, dengan ditemani temaram lampu 5 watt yang samar, tak ada satupun uang kertas kutemukan lebih besar dari 5000 rupiah. Bahkan uang 5000 rupiah itu hanya selembar. Tak cukup untuk beli ayam sepanjang ramadhan.
 Memang akhir-akhir ini, aku banyak menginvestasikan pendapatanku untuk perut. Terutama untuk Sabdi, yang teramat sangat sering belanja. Aku mengambil napas panjang kemudian melenguh. Berharap masalah ini akan ikut menguap bersama karbondioksida hasil lenguhanku.
Dan saat aku benar-benar merasa jatuh itulah, tawaran bu Asih berdendang lagi. Sepertinya aku harus segera memutuskan langkah selanjutnya. Akhirnya setelah shalat istikharah berkali-kali, keputusan itu akhirya sudah final.
“Berapa?” dari sudut matanya aku lihat garis ekuator keangkuhan itu bertahta. Bu Ais melirik sekilas. Ia membuka dompet tebalnya seolah-olah menuntut aku untuk menjawab cepat.
“Dua ratus ribu!” aku pasrah menyebut nominal uang itu dihadapan wanita yang seolah-olah menjadi malaikat penolong bagiku ini. Yaaahhh... aku ternyata mengambil tawaran dari bu Asih untuk meminjam uang padanya. Pada wanita paruh baya yang asyik mengokang kaki di depanku ini.
  Bu Ais mengangsurkan 2 lembar 100 ribuan ke tanganku, “Ini ambil! Kau sudah tahu perjanjiannya bukan?” tanyanya selidik sebelum uang itu sampai ke tanganku.
Aku anggukkan kepala tanda mengerti.
“Bagus! Kita berangkat habis puasa! Nasibmu akan lebih baik jika kau disana!” Bu Ais berkata seolah-olah ia mampu membaca takdirku. “Uang yang dua ratus itu biar aku potong dari gajimu nanti,”
Aku mengangguk lagi. Kali ini benar-benar berat. Kepalaku mendadak pening. Saat aku bangun dari dudukku, aku melihat tangan bu Ais mengibas-ngibas padaku. Tanda alam bagi ku untuk segera berlalu dari hadapannya.
* * * * *

Sabdi terlonjak-lonjak bahagia. Saat membongkar belanjaanku dari pasar. Seekor ayam potong teronggok lesu di dalam plastik biru yang transparan.
“Holeee.... ayam goleng!” Sabdi berteriak cadel. Aku mengangguk mengiyakan. Tak lupa pake senyum.
Ini hari pertama puasa. Sesuai perjanjian aku dan Sabdi: Sabdi akan berpuasa pol tahun ini, jika lauk berbuka adalah ayam goreng. Deal.
Dan Sabdi tidak ingkar akan janjinya. Ia puasa penuh. Tak ada setengah-setengah seperti puasa kebanyakan anak yang lain. Dan itu sudah berjalan selama 28 hari. Dan selama itu pula, asap ayam goreng selalu mengepul dari dapurku.
Tak terasa lusa adalah akhir Ramadhan. Dan aksi Sabdi tak berhenti sampai di ayam goreng saja. Kini Ia meminta baju lebaran. Uang yang kupinjam tempo hari di Bu Ais tinggal 10000 rupiah saja. Haruskah aku meminjam lagi???
Aku coba mengakumulasikan jumlah tabunganku dengan sisa uang pinjaman dari Bu Ais. Hasilnya adalah 30.500 rupiah. Aku tersenyum getir. Harus ada jalan lain selain meminjam. Harus!
* * * * *
Setelah melakukan survey di pasar, akhirnya aku memutuskan untuk membeli baju di loakan saja. Karena isi dompetku di bawah rata-rata. Toh, kualitas di loakan tidak kalah dengan yang baru. Murah lagi. setelah hampir satu jam aku mengobrak-abrik gunungan baju second itu, akhirnya sebuah baju setelan gambar Upin dan Ipin berdasar merah itu kubayar tunai. 20.000 rupiah saja.
Sabdi menyambut dengan tangan terbuka baju “baru”nya. Kini Sabdi tak melonjak-lonjak lagi.
“Kan lagi puasa, hemat tenaga Kak!” jawabnya saat kutanya mengapa ia tak melonjak-lonjak seperti biasa. Aku mengelus-elus kepala Sabdi lembut. Ahh...siapa orangtuamu? Tega sekali mereka membuangmu? mereka akan sangat rugi membuangmu, Sabdi. Monolog hatiku terus berkecamuk sampai Sabdi tertidur pulas di pangkuanku.
Beberapa jam dari sekarang, aku akan meninggalkan Sabdi. Sesuai kesepakatanku dengan Bu Ais sebulan lalu. Tanpa kusadari, intan bening meluncur dari mataku. Aku menangis dalam dekapan malam.

* * * * *
Mobil itu telah parkir sedari tadi. Namun, sungguh aku sangat tak ingin masuk kedalamnya. Tangis Sabdi masih menganak sungai. Ia meraung-raung. Pelukannya makin erat. Seperti ia tak ingin melepas kepergianku.
“Sabdi harus tenang Sayang!” Bu Asih berusaha melepas pelukan Sabdi dariku. Tangis Sabdi semakin kencang. Tangisku sudah dari tadi mengalir jatuh. Sungguh, perpisahan selalu menyakitkan bagiku!
Aku menghapus air mata Sabdi. “Sabdi, kakak akan pulang tiap lebaran tiba. Bawain Sabdi baju lebaran yang oke punya.” Aku berusaha membuatnya tersenyum dengan memberikan sinyal jempol ibu jari.
Sabdi terdiam. Ia menatapku dalam. Serasa aku akan tenggelam dalam danau matanya yang bening. Kemudian, “Kakak jahat!” teriaknya sambil berlari dari hadapanku.
“Sabdi!” aku berteriak berusaha mengejarnya. Namun, Bu Asih menahanku. “Biar Ibu yang urus Sabdi, baik-baikklah kau disana ya!”
“Tapi Sabdi....” suaraku tercekat di kerongkongan.
“Sudahlah, Rie. Kamu tenang saja. Sabdi hanya sedih sebentar. Nanti juga baik lagi,” Bu Asih menenangkanku.
“Rie titip Sabdi Bu!” pamitku setelah mencium tangan Bu Asih khidmat. Ia menepuk-nepuk pundakku. “Jangan lupa kabari Ibu setelah sampai disana.”
Aku mengangguk. “Titip Sabdi!” pesanku lagi pada semua teman-teman pemulung yang sibuk menyalamiku.
“Sabdi adalah adik kami juga, kau tenang saja Rie!”
“Kami akan menjaga Sabdi sekuat kemampuan kami!”
“Hati-hati di jalan!”
“Sering-sering pulang ya!”
Aku tersenyum sambil mengangguk mantap mendengar kata-kata “motivasi” meluncur dari mulut teman-temanku.
Aku melambaikan tangan pada mereka semua. Sebelum akhirnya masuk kedalam mobil. Dari kaca riben mobil, aku melihat mereka masih melambaikan tangan padaku. Aku membalas lambaian tangan-tangan itu. Meskipun aku tahu mereka mungkin tak kan melihatnya.
Deru mobil tepat menyala saat aku berkata lirih, “Sabdi,kakak akan pergi ke negeri dimana kakak akan menyejahterakanmu. Dengan kolam ayam goreng. Kakak akan bekerja keras, supaya Sabdi pakai baju first bukan second lagi,” aku menghela napas yang semakin memburu bersama deru mobil yang semakin mengaum-ngaum. Tempat pembuangan sampah lama kelamaan mulai berubah menjadi noktah kecil di kaki langit. Aku menghirup dalam-dalam udara Idul Fitri yang masih merah. Sebelum akhirnya berkata lirih,
“Ke negeri Upin dan Ipin!”


Keterangan:
Tekong : Orang yang berprofesi sebagai penyalur tenaga kerja ke luar negeri


                                                                                                Mutia Putri